Kontrak jual-beli
senjata antara Arab Saudi dan Amerika Serikat seakan tidak ada akhirnya
dan bahkan terjadi lonjakan dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian
Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) mengkonfirmasikan penandatanganan
kontrak penjualan pesawat militer dan perlengkapannya kepada Arab Saudi.
Pentagon menyatakan, Amerika Serikat berencana menjual 20 unit pesawat
kargo militer dan lima pesawat pengisian bahan bakar senilai 6,7 milyar
USD ke Arab Saudi. Kontrak itu termasuk biaya pelatihan, dukungan
logistik, suku cadang dan peralatan untuk pesawat tersebut.
Termasuk dalam paket kontrak tersebut adalah pesawat C-130J-30 Super Hercules dan KC-130J—jenis pesawat pengisi bahan bakar—yang akan menggantikan armada udara Arab Saudi yang mulai menua.
Penjualan pesawat tersebut akan mendukung kebijakan luar negeri dan
keamanan nasional AS dengan membantu meningkatkan keamanan sebuah negara
sahabat, menjadi kekuatan penting di Timur Tengah.
Riyadh meningkatkan belanja militernya secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2010, Arab Saudi juga telah menandatangani kontrak pembelian senjata dari Amerika Serikat senilai 60 milyar USD dan menjadi pembeli terbesar senjata di antara negara-negara berkembang pada tahun 2011.
Di antara negara-negara
Arab di bagian selatan Teluk Persia, Arab Saudi merupakan konsumen
senjata Amerika Serikat. Saat ini, milyaran dolar telah dikeluarkan oleh
Arab Saudi untuk menimbun persenjataan yang selain tidak dapat
menggunakannya, juga tidak penting untuk Saudi. Pertanyaannya adalah
mengapa Arab Saudi menumpuk persenjataan dari AS?
Banyak pemerhati yang berpendapat bahwa pembelian senjata
itu selain untuk menyampaikan pesan negatif kepada musuh bebuyutan
Amerika Serikat di kawasan yaitu Iran, juga dalam rangka menyelamatkan
perekonomian Negeri Paman Sam yang sedang sekarat.
Sulit untuk mengingkari alasan kedua yang dikemukakan para analis soal
penjualan senjata ke Arab Saudi itu. Di saat AS dan semua negara Eropa
sedang menghadapi gelombang krisis ekonomi, terjadi persaingan serius
antara AS, Inggris dan Perancis untuk menjajakan persenjataan mereka ke
negara-negara Timur Tengah kaya minyak.
Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris, David Cameron dalam kunjungannya
ke kawasan menandatangani perjanjian militer dan menjajakan pesawat
Typhoon kepada negara-negara regional. Angka yang ditawarkan Cameron juga sangat mengejutkan yaitu 100 unit jet tempur Typhoon.
Adapun alasan pertama yang dikemukakan pengamat juga sangat penting.
Iran sebagai penghalang utama politik imperialisme Barat di kawasan,
diposisikan Amerika Serikat dan Eropa sebagai potensi ancaman terbesar
bagi negara-negara Arab. Tanpa menebar klaim-klaim infaktual tentang ancaman dari Iran, Barat jelas tidak akan sukses mengobral senjatanya di Timur Tengah.
Republik Islam Iran yang telah menghadapi sanksi dari Barat sejak
kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1978, dalam beberapa tahun terakhir
mencapai berbagai terobosan dan perkembangan di bidang militer. Dengan
mengandalkan kemampuan dalam negeri, Iran berhasil mandiri dalam
memproduksi perangkat keras dan lunak militer. Meski demikian Republik
Islam berulangkali menyatakan bahwa kekuatan militernya bukan ancaman
untuk negara manapun mengingat doktrin militer Iran berlandaskan pada
prinsip pertahanan.
Apakah para penguasa Arab di Timur
Tengah dan Teluk Persia tidak menyadari fakta ini bahwa mereka tengah
dijadikan boneka kepentingan ilegal Barat dan Amerika Serikat?
Sumber: Irib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMEN POSITIF "OK"