Sejarah membuktikan, sejak krisis minyak 1973 di negara-negara Barat,
energi menjadi komoditas yang mampu memicu suhu politik dan keamanan
dunia.
Dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari Barat ke Timur, peran
Indonesia di Asia Pasifik sebagai tempat berinvestasi jadi sangat
menarik. Sumber daya alam dan energi yang relatif banyak, pertumbuhan
ekonomi tinggi, dan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia menjadi
faktor-faktor pendukungnya.
Keunggulan komparatif ini tak bisa maksimal manfaatnya jika
infrastruktur dan pasokan energi belum memadai. Sementara lokasi dan
kondisi geografi Indonesia yang rentan ancaman keamanan dan bencana,
penanganannya pun terkait erat pemenuhan energi domestik.
Kekuatan Maritim
Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai kedua terpanjang di
dunia, dan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI: PP No 37/2002),
ancaman terhadap keamanan maritim Indonesia cukup banyak dan beragam.
Ancaman bisa dari dalam dan luar, seperti perompakan, terorisme,
penyelundupan, pencurian ikan dan kekayaan laut lainnya.
Salah satu tolok ukur dari kekuatan maritim Indonesia adalah
penguasaan terhadap ALKI I (Selat Malaka-Karimata-Sunda), ALKI II (Selat
Makassar-Lombok), dan ALKI III (Selat Leti- Ombai). Setiap tahun, Selat
Malaka dilalui 60.000 lebih kapal, mengangkut seperempat perdagangan
dunia. Selat ini juga dilalui muatan strategis berupa 15 juta barrel
minyak per hari, memasok energi ke negara-negara maju Asia Timur seperti
China, Korea Selatan, dan Jepang.
Karena perannya yang strategis, keberadaan ALKI dapat dijadikan
bargaining chip dalam diplomasi. Ini bisa terwujud jika didukung
kekuatan maritim yang tangguh. Namun, di kawasan Asia Tenggara sendiri
masih ada perbedaan cara pandang terkait keamanan maritim bersama.
Indonesia dan Malaysia menolak kehadiran kekuatan asing menjaga Selat
Malaka, sedangkan Singapura mengharapkan Jepang atau Amerika ikut campur
dalam penanganan keamanan selat ini.
Ada dugaan, jika suhu geopolitik di kawasan Asia Tenggara memanas,
Selat Malaka berpeluang jadi ajang kekuatan negara- negara besar.
Artinya, peningkatan kekuatan maritim di ketiga ALKI merupakan
unavoidable destiny. Hal ini mengingat pada masa lampau pengembangan TNI
belum sepenuhnya untuk kekuatan maritim.
Menurut ICC International Maritime Bureau (2012), jumlah pembajakan,
termasuk percobaan, di Asia Tenggara terus meningkat, terutama di
perairan Indonesia, yaitu 21 pada 2011 dan 32 pada 2012. Ke depan,
peluang ancaman terorisme terhadap tanker BBM dan LNG/LPG di kawasan
Selat Malaka masih terbuka, baik dengan cara memasang bom di kapal atau
langsung menabrakkan tanker ke target.
Kondisi di atas menggiring Indonesia untuk memperkuat armada lautnya.
Penguatan armada tak hanya jumlah dan jenis peralatan militer, tetapi
juga pasokan energi dan infrastruktur pendukungnya. Kapal perang TNI AL
mengonsumsi energi terbesar ketimbang peralatan militer yang dimiliki
oleh matra AD dan AU. Pangkalan utama TNI AL sering menghadapi kendala
dalam memenuhi kebutuhan BBM-nya, termasuk dalam kondisi normal.
Simulasi yang dilakukan oleh Universitas Pertahanan Indonesia
menunjukkan, untuk operasi penutupan sebuah ALKI—dan pengamanan
perbatasan laut dengan negara tetangga dalam waktu 24 jam—dibutuhkan
paling tidak 1 juta liter solar per hari. Ini belum termasuk saat
keberangkatan sehingga operasi pengamanan maritim butuh pasokan energi
yang besar.
Penanganan Bencana
Di sisi lain, wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan tiga
lempeng tektonik besar (Indo- Australia, Eurasia, Pasifik) dan bagian
dari cincin api Pasifik juga merupakan ancaman bagi ketahanan ekonomi
dan pada akhirnya ke keamanan nasional. Ancaman bisa terjadi setiap saat
berupa aktivitas gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.
Bencana berskala besar pernah terjadi di Indonesia, seperti tsunami
di Aceh 2004 dan gempa bumi di Sumbar 2009. Bencana pun bisa terjadi
karena ulah manusia, seperti kebakaran, banjir, dan longsor. Bencana
seperti ini akan berulang dan integral dengan kehidupan manusia.
Menyadari hal-hal di atas, Pemerintah Indonesia telah berupaya
melakukan mitigasi berupa peringatan dini, rute dan latihan evakuasi,
serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang risiko bencana. Sebagai
wujud nyata, BNPB kini tengah berupaya membangun 26 shelter di Pariaman
dan Agam untuk menampung sekitar 30.400 jiwa.
Upaya mitigasi bencana berjangka pendek memang perlu, tetapi itu saja
tidak cukup. Pada kondisi nyata, evakuasi tanpa korban dari jumlah
penduduk sebanyak dan dalam waktu sesingkat itu tidaklah mudah. Terlebih
jika bencana terjadi pada dini hari. Guna menekan jumlah korban dan
atau upaya mitigasi jangka panjang, maka akar masalah harus teratasi.
Bagaimana?
Banyak sebab masyarakat pesisir pantai ”enggan” meninggalkan
habitatnya meski sadar nyawanya terancam. Terbatasnya lapangan pekerjaan
di kawasan aman penyebab utamanya. Ini titik awal timbulnya lingkaran
kemalangan bencana.
Ciri dari masyarakat yang demikian adalah konsumsi energi per kapita
(BBM dan listrik) yang rendah. Sementara larangan pemerintah kepada
masyarakat untuk tidak bermukim di daerah rawan bencana pada radius
tertentu juga krusial. Oleh karena itu, peran energi dalam mendongkrak
roda perekonomian dan menciptakan lapangan kerja jadi mutlak.
Ketersediaan infrastruktur, pasokan, dan daya beli energi masyarakat
menjadi solusi jangka menengah-panjang dalam mengatasi lingkaran
kemalangan bencana.
Benang Merah Keamanan
Ada benang merah antara peran energi dengan penanganan masalah
keamanan maritim dan bencana. Sudah saatnya pembelian peralatan militer
TNI AL dibarengi dengan anggaran yang memadai untuk infrastruktur,
energi, dan pengembangan SDM. Diversifikasi energi untuk peralatan TNI
AL dari solar (HSD) ke biodiesel krusial karena armada laut harus selalu
siap dikerahkan pada kondisi darurat.
Penggunaan korvet untuk penangkapan pencurian ikan dan penyelundupan
perlu dikaji ulang karena boros energi. Penjaga pantai perlu
diberdayakan agar TNI AL lebih fokus dalam melakukan tugas-tugas
pokoknya. Sementara itu, bagi terwujudnya sistem pertahanan negara yang
kokoh, terutama di wilayah perbatasan utara dan timur Indonesia yang
rawan konflik, cadangan penyangga minyak strategis sangat diperlukan.
Terakhir, pembekalan pengetahuan dan pembentukan karakter kepada
calon pemimpin bangsa melalui program studi pascasarjana jurusan
keamanan maritim (maritime security). Inisiatif pendirian program ini
telah dilakukan Universitas Pertahanan Indonesia, dimulai tahun ajaran
2013/2014. Program Studi Maritime Security berada pada Sekolah Studi
Keamanan yang telah memiliki dua program lainnya: Energy Security dan
Disaster Management. Ketiga program ini merupakan upaya pelembagaan
sekaligus jawaban berjangka menengah-panjang terhadap ancaman kerentanan
energi, keamanan maritim, dan bencana nasional.