VIVAnews - Dalam beberapa pekan terakhir, laporan media massa mengungkapkan bahwa China dan Rusia kembali mempererat bisnis jual-beli senjata. China pun baru-baru ini ingin segera membeli 24 unit pesawat tempur Su-35 buatan Rusia.
Namun, kalangan pengamat di media massa Rusia memperingatkan pemerintah agar tidak gegabah langsung menjual begitu saja alat utama sistem persenjataan andalan mereka kepada China, negara yang kini tampil menjadi kekuatan ekonomi baru. Apalagi Su-35 termasuk jet tempur berteknologi paling mutakhir di dunia.
Di permukaan, kesepakatan ini tampak saling menguntungkan. Rusia mendapat konsumen kelas kakap, sedangkan China mendapat akses ke salah satu teknologi pertahanan terbaik di dunia. Jual-beli ini juga tampaknya menjamin langgengnya kerjasama kedua negara untuk jangka panjang.
Namun, kalangan pengamat mewanti-wanti Rusia untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lampau. Pengamat China-Rusia, Harry Kazianis, menilai bahwa di masa lampau penjualan produk mutakhir Moskow ke Beijing bisa dipandang kesalahan yang konyol, seperti yang terjadi pada kontrak jual-beli pesawat Su-27 Flanker pada dekade 1990an.
Dalam tulisannya di The Moscow Times, Kazianis menilai kesalahan itu berakhir kerugian bagi Rusia. Kontrak jet Su-27 putus di tengah jalan, namun China sudah terlanjur mendapatkan teknologi dan desain jet tempur itu, lalu mereka kembangkan sendiri menjadi produk baru.
Ini bermula saat industri persenjataan Rusia menderita kesulitan keuangan setelah bubarnya Uni Soviet di awal dekade 1990an. Saat itu, Moskow mau saja menjual alutsistanya kepada China, yang saat itu mulai mengalami kebangkitan ekonomi dan memulai program modernisasi persenjataan. Hubungan dua negara tersebut ketika itu mulai membaik setelah sempat bersitegang selama bertahun-tahun, bahkan sempat bentrok di perbatasan pada 1969.
Bagi China, mendapatkan teknologi alutsista mutakhir merupakan kebutuhan penting. Para ahli strategi di China saat itu terkesima akan pesatnya kemampuan AS dalam mengusir militer Irak dari Kuwait pada Perang Teluk 1990-1991.
Beijing sadar bahwa persenjataannya mereka, walau berjumlah banyak, namun sudah dipandang kuno. Sebaliknya, AS sudah memiliki amunisi canggih, pesawat pengebom siluman, dan jet tempur yang mutakhir. Maka, teknologi Rusia dipandang cocok untuk mengimbangi kekuatan militer AS. Apalagi Moskow saat itu sedang butuh dana besar untuk membangun kembali perekonomiannya setelah Uni Soviet bubar.
Pada 1996, China dan Rusia mempererat kerjasama bisnis persenjataan. Beijing tidak hanya membeli jet Sukhoi, namun saat itu juga sepakat merogoh US$2,5 miliar untuk mendapat lisensi dari Moskow dalam membuat 200 unit tambahan Su-27 di pabrik mereka sendiri, yang dikelola perusahaan Shenyang Aircraft Co.
Dengan membeli lisensi itu, China bisa merakit pesawat Su-27 dan hanya impor beberapa komponen tertentu dari Rusia, seperti sistem avionik, radar, dan mesin. China hanya diminta Rusia tidak boleh mengekspor jet-jet itu ke luar negeri selain untuk kepentingan sendiri.
Namun, kerjasama itu memiliki celah yang akhirnya merugikan Rusia. Setelah merakit sekitar 100 unit jet Su-27, China pada 2004 membatalkan kontrak dengan Rusia. Alasannya, pesawat itu tidak memenuhi spesifikasi yang mereka harapkan.
Tiga tahun kemudian, China berhasil membuat sendiri jet tempur baru, bernama J-11B. Pesawatnya hampir mirip dengan Su-27. China pun membantah tudingan bahwa mereka mencontek jet buatan Rusia dengan mengatakan bahwa 90 persen suku cadang mereka buat sendiri dan itu termasuk sistem avionik dan peralatan radar.
Kini, Rusia dianggap berisiko mengulangi kesalahan itu dengan berencana menjual Su-5 kepada China. Jumlahnya sekitar 24 unit dengan harga transaksi antara US$1,5 miliar hingga US$2 miliar.
Kerjasama inilah yang patut dicermati oleh Rusia. Kalangan pengamat seperti Kazianis mewanti-wanti kerugian seperti proyek Su-27 jangan terjadi lagi. Di samping faktor komersil, Rusia juga harus mempertimbangkan kepentingan strategisnya sendiri.
"Rusia akan mendapat manfaat yang sangat sedikit dalam menjual teknologi pertahanan terbaiknya kepada China. Sudah ada hikmah yang bisa diambil dari masa lalu, jangan sampai lagi terulang kesalahan yang sama," tulis Kazianis.
Sumber: Vivanews