NEW YORK, KOMPAS.com - Isu sengketa wilayah di Laut
China Selatan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Masalah itu bisa
berkembang dan semakin parah seolah ”membuka kotak Pandora” jika sampai
salah penanganan.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa, Selasa (25/9), saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS.
”Terdapat kesamaan pemahaman antarnegara-negara di kawasan. Mereka meyakini sama- sama bisa membangun dan merasakan kesejahteraan karena adanya situasi dan kondisi yang sangat stabil serta ramah di kawasan,” ujar Marty.
Saat ini, tambah Marty, Indonesia telah berupaya mengedarkan dan mengajukan draf rancangan kode tata berperilaku di Laut China Selatan di antara sesama negara anggota ASEAN.
Seperti diwartakan, para menlu se-ASEAN berencana menggelar pertemuan sampingan di sela-sela sidang tahunan PBB di New York tersebut.
Agenda utama pertemuan itu membahas persiapan menjelang pertemuan tingkat kepala negara atau KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, pertengahan November nanti.
Juli lalu, keberadaan dan kesatuan ASEAN dipertanyakan, menyusul kegagalan organisasi kawasan itu menyusun draf komunike bersama. Kebuntuan terjadi akibat ketidaksepakatan tuan rumah Kamboja dengan Vietnam dan Filipina terkait perlu tidaknya menyinggung insiden di Beting Scarborough yang melibatkan China.
Kegagalan itu adalah kegagalan pertama ASEAN mencapai kesepakatan dalam 45 tahun keberadaannya.
Menyatukan kembali
Rancangan kode tata berperilaku yang disusun dan diedarkan Indonesia saat ini disebut Marty sebagai upaya Indonesia mempersatukan kembali ASEAN di tengah berbagai perbedaan yang masih terjadi terkait penanganan sengketa teritorial di Laut China Selatan.
Empat dari 10 negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina, menjadi negara pengklaim kawasan di Laut China Selatan.
Mereka bersengketa dengan China dan Taiwan. Pihak China mengklaim hampir 90 persen perairan yang diyakini kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi itu.
”Apa yang kita cari sekarang ini adalah pengaturan mendasar sehingga antarnegara dapat berperilaku secara baik-baik jika mereka memang ingin tetap menjaga stabilitas di kawasan ini,” ujar Marty.
Marty juga membenarkan situasi kawasan Asia Timur saat ini terguncang akibat sengketa teritorial lain, yakni sengketa antara Jepang dan China terkait kepulauan Senkaku atau Diaoyu di perairan Laut China Timur.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa, Selasa (25/9), saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS.
”Terdapat kesamaan pemahaman antarnegara-negara di kawasan. Mereka meyakini sama- sama bisa membangun dan merasakan kesejahteraan karena adanya situasi dan kondisi yang sangat stabil serta ramah di kawasan,” ujar Marty.
Saat ini, tambah Marty, Indonesia telah berupaya mengedarkan dan mengajukan draf rancangan kode tata berperilaku di Laut China Selatan di antara sesama negara anggota ASEAN.
Seperti diwartakan, para menlu se-ASEAN berencana menggelar pertemuan sampingan di sela-sela sidang tahunan PBB di New York tersebut.
Agenda utama pertemuan itu membahas persiapan menjelang pertemuan tingkat kepala negara atau KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, pertengahan November nanti.
Juli lalu, keberadaan dan kesatuan ASEAN dipertanyakan, menyusul kegagalan organisasi kawasan itu menyusun draf komunike bersama. Kebuntuan terjadi akibat ketidaksepakatan tuan rumah Kamboja dengan Vietnam dan Filipina terkait perlu tidaknya menyinggung insiden di Beting Scarborough yang melibatkan China.
Kegagalan itu adalah kegagalan pertama ASEAN mencapai kesepakatan dalam 45 tahun keberadaannya.
Menyatukan kembali
Rancangan kode tata berperilaku yang disusun dan diedarkan Indonesia saat ini disebut Marty sebagai upaya Indonesia mempersatukan kembali ASEAN di tengah berbagai perbedaan yang masih terjadi terkait penanganan sengketa teritorial di Laut China Selatan.
Empat dari 10 negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina, menjadi negara pengklaim kawasan di Laut China Selatan.
Mereka bersengketa dengan China dan Taiwan. Pihak China mengklaim hampir 90 persen perairan yang diyakini kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi itu.
”Apa yang kita cari sekarang ini adalah pengaturan mendasar sehingga antarnegara dapat berperilaku secara baik-baik jika mereka memang ingin tetap menjaga stabilitas di kawasan ini,” ujar Marty.
Marty juga membenarkan situasi kawasan Asia Timur saat ini terguncang akibat sengketa teritorial lain, yakni sengketa antara Jepang dan China terkait kepulauan Senkaku atau Diaoyu di perairan Laut China Timur.
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMEN POSITIF "OK"