Ketika berlangsung Perang Vietnam salah satu yang menjadi fenomena
dalam pertempuran darat adalah peran heli transpor Bell 204/205 UH-1 Huey dan heli serang pendukung gempuran pasukan darat, AH-1 Cobra.
Dalam operasi pendaratan pasukan menggunakan puluhan Huey dan bisa mendaratkan satu batalyon pasukan, gempuran pasukan darat yang dilindungi serta didukung Cobra terbukti sangat efektif. Selain berperan untuk menggempur sarang senapan mesin musuh, Cobra
yang dipersenjatai rudal TOW juga mumpuni sewaktu menghajar kendaraan
berat lawan seperti ranpur angkut pasukan dan tank. Sebagai musuh
bebuyutan dalam Perang Dingin sekaligus pemasok senjata bagi pasukan
Vietnam Utara, Rusia termasuk yang paling risau atas kehadiran dua heli
tempur AS itu. Salah satu warga Rusia yang paling risau dan sekaligus
gatal terhadap kemampuan heli tempur AS di Vietnam adalah Mikhail
Leont’vevich Mil perancang heli tempur bagi militer Rusia.
Bagi Mikhail peran Huey dan Cobra di Vietnam
cukup menarik terutama jika dua kemampuan itu digabungkan sehingga heli
transpor yang bertugas mengangkut pasukan infanteri tidak hanya
berperan sebagai transpor saja tapi juga beperan sebagai heli serang
atau helikopter multirole. Pada tahun 1966, rancangan Mikhail yang merupakan mock up heli serba guna, angkut, dan sekaligus serang V-24 sudah terwujud. Dari segi kemampuan mock up V-24
merupakan heli angkut pasukan sebanyak delapan personel bersenjata
lengkap dan bisa dipersenjatai dengan enam rudal atau roket serta dua
senapan kanon Gsh-23 L kaliber 23 mm.
Sewaktu rancangan V-24 yang kemudian diproduksi menjadi Mi-24
ditawarkan kepada militer Rusia, sejumlah petinggi AD Rusia menolak
mentah-mentah karena persenjataan pasukan darat seperti tank dianggap
lebih mumpuni dibandingkan heli tempur. Mujur Deputi Menteri Pertahanan
Rusia, Marsekal Andrev A. Greckho mendukung sehingga rancangan V-24
akhirnya bisa diproduksi. Industri penerbangan yang memproduksi mock up
Mi-24 adalah Mil Moscow Helicopter Plant. Pada awalnya Mi-24 menyiapkan
dua mesin Izotov TV3-177A turboshatf berkemampuan 1700 tenaga kuda.
Jika menggunakan satu mesin bobotnya mencapai 7 ton sedangkan jika
memakai dua mesin kembar, bobotnya mencapai 10,5 ton.
Perusahaan penerbangan Rusia lainnya, Kamov sempat menawarkan mesin Ka-25 Hormone
ASW dengan alasan lebih murah. Tapi Mil Moscow kemudian menerapkan dua
mesin baru Isotov TV3-117VMA turboshaft yang masing-masing memiliki
kekuatan 2.200 tenaga kuda. Tak hanya memasang mesin versi terbaru, Mil
Moscow juga mengganti persenjataan dengan senapan mesin berat Yakushev
Borzov Yak B Gatling kaliber 12.7 mm yang bisa membawa 1.470 peluru dan
rudal antitank, 9K 114 Shturm (AT-6 Spiral). Proses penyempurnaan rancangan untuk penempatan persenjataan, tail rotor,
dan lainnya hingga masa produksi serta tahap siap diterbangkan
berlangsung dari 1970-1972. Khusus untuk varian Mi-24 V dipersenjatai
rudal yang bisa menjangkau jarak 8 km, AT-9.
Tintanium, kevlar dan baja
Sebagai heli serang sekaligus transpor pasukan, dua awak yang
bertugas mengoperasikan Mi-24 dan duduk dalam posisi tandem mendapatkan
perlindungan khusus di dalam kokpit yang tahan peluru. Baik dinding
kabin maupun kaca kokpit terbuat dari bahan titanium dan kaca khusus
(kevlar) yang mampu menahan gempuran senapan mesin kaliber 12.7 mm.
Kabin penumpang yang berada di dalam fuselage pesawat pun terlindungi dinding lapis baja sehingga kemampuan Mi-24 melebihi apa saja yang bisa dilakukan Huey.
Pada awal Mi-24 dioperasikan dalam medan tempur di Afghanistan belum
ada heli milik NATO yang mampu mengimbanginya. Heli buatan
negara-negara Barat, khususnya produksi AS yang kemudian bisa
disejajarkan untuk mengimbangi Mi-24 adalah Sikorsky UH-60 Black Hawk, heli angkut sekaligus serang yang dipersenjatai dengan rudal AGM-114 Hellfire dan roket Hydra 70.
Ketika diterjunkan ke medan perang untuk pertama kalinya oleh
Somalia melawan Ethiopia dalam peperangan yang lebih dikenal Ogaden War
(1977-1978), Mi-24 yang disuplai Rusia terbukti menunjukkan
kehebatannya.Sebagai pendukung militer Ethiopia dalam kancah Perang
Dingin, AS merasa tidak bisa berbuat banyak untuk melawan kehebatan
Mi-24. Apalagi rudal Stinger buatan AS yang nantinya menjadi momok bagi Mi-24 baru bisa dioperasikan pada tahun 1980-an.
Sejak dioperasikan mulai tahun 1971, Mi-24 telah diproduski ke
berbagai varian sesuai kebutuhan negara pemakai atau tantangan yang
harus dihadapi di medan perang. Varian-varian Mi-24 itu antara lain
Mi-24 (Hind A) yang bisa mengangkut delapan pasukan dan tiga awak dan dipersenjatai roket 57 mm, rudal antitank MCLOS 9M17 Phalanga (AT-2 Swater), dan senapan mesin kaliber 12.7 mm. Mi-24 D (Hind-D),
heli tempur versi terbaru yang diproduksi tahun 1973 dan merupakan
desain ulang dari Mi-24 C. Perubahan yang dilakukan pada Mi-24 D adalah
pada bagian fuselage, kokpit untuk pilot dan gunner.
Ketika Perang Iran-Irak (1980-1988) berkobar Mi-24 dan
variannya Mi-25 dan Mi-35 mendapat kesempatan untuk bertarung melawan
AH-1 Cobra yang diterbangkan oleh pilot-pilot Iran. Duel udara
itu yang merupakan wujud nyata bertemunya persenjataan produksi Perang
Dingin ternyata menghasilkan skor yang seimbang.
Sesuai dengan tantangan di medan tempur yang harus dihadapi
oleh AS dan lomba persenjataan di era Perang Dingin yang makin memanas,
Cobra pun dikembangkan ke generasi heli tempur paling mutakhir, AH-64 Apache. Meskipun Perang Dingin telah usai dan Rusia merupakan pihak yang dikalahkan, semangat untuk menyaingi Apache terus berlanjut karena tak lama kemudian Rusia memproduksi heli serupa Mi-28 Havoc. Namun dalam proses pemasarannya, Apache yang telah terbukti unggul di berbagai medan tempur lebih laku dibandingkan Mi-28.
Ketertarikan TNI AD untuk membeli Apache atau Black Hawk seperti yang pernah dikemukakan oleh KSAD, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo (angkasa.co.id)
selain mencerminkan hubungan AS-Indoensia yang makin membaik juga
dipengaruhi oleh harga kedua pesawat itu. Yang pasti TNI AD akan membeli
sesuai dengan kebutuhan Puspenerbad dan memilih harga yang lebih murah.
Di samping itu kenyataan bahwa dari sisi pengalaman tempur, Apache
terbukti merupakan heli tempur paling mutakhir dan modern pada saat
ini. Menurut Komandan Skadron 21/Sena Puspenerbad yang bermarkas di
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Letkol Eko Priyanto, jika TNI AD bisa
memiliki Apache maka baik dari sisi kemampuan para pilot dan daya gempur akan makin meningkat.
“Puspernerbad memang telah memiliki sejumlah heli serang Mi-35, tapi kehadiran Apache akan makin meningkatkan kemampuan tempur TNI AD karena Apache
bisa berfungsi sebagai pelindung bagi operasi tempur yang dilaksanakan
oleh Bell-412 dan Mi-35 ketika sedang mendaratkan pasukan,” papar Eko
yang memiliki 6.000 jam terbang sebagai pilot heli baik buatan AS maupun
Rusia itu.
Sumber:
Angkasa