VIVAnews - Saat China beralih ke Rusia untuk pasokan
persenjataan canggih di dekade 1990an, negara komunis itu pun mulai
membangun kekuatan militer dengan anggaran yang besar. Dalam dua dekade
terakhir, China secara massal mengganti alat utama sistem pertahanan
kuno peninggalan 1950an dengan persenjataan terkini.
Menurut kantor berita Reuters, China tidak hanya mengimpor senjata dari Rusia. Perlahan-lahan, Beijing juga mendukung alih teknologi dan membangunan kompleks industri militer secara besar-besaran, sehingga di masa depan tidak lagi bergantung dari luar negeri.
Walau masih dikendalikan rezim komunis, China dikabarkan melibatkan pihak swasta nasional untuk mendukung industri strategis ini, baik dari segi pendanaan maupun pengembangan riset dan teknologi. Pembangunan industri militer nasional itu, seiring dengan terus bertambahnya anggaran militer dari tahun ke tahun, mengundang penasaran dari beberapa negara.
Kemandirian China dalam industri alutsista itu tidak lepas dari kebijakan negara-negara Barat, yang melarang penjualan senjata ke Tiongkok sejak Tragedi Tiananmen 1989. Negara-negara Barat, seperti AS dan Eropa, dikenal mengaitkan situasi hak asasi manusia di negara pengimpor sebagai syarat kerjasama jual-beli alutsista.
Situasi itu memotivasi China untuk membuat senjata secara mandiri. Menurut kalangan pengamat China dan Barat, lambat-laun Beijing mulai percaya diri mengurangi ketergantungan atas Rusia dan negara-negara pemasok.
Kemampuan China itu sejalan dengan dinamisnya ekonomi mereka dalam tiga dekade terakhir. "Sektor pertahanan suatu negara harus mencerminkan kekuatan ekonomi yang bersangkutan," kata Wu Da, seorang manajer portofolio dari Changsheng Fund Management Co Ltd, firma berbasis di Beijing yang berinvestasi di saham-saham pertahanan China.
Namun, Wu menilai bahwa pemerintah terus menjaga ketat kerahasiaan sektor pertahanan ini. Maka sulit untuk diakses seberapa besar perkembangan industri itu.
"Beberapa kelompok usaha pertahanan China sudah cukup kuat setelah begitu besar belanja militer dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kita tidak tahu secara pasti seberapa besar perkembangan mereka secara finansial atau teknologi karena China tidak ingin yang lain tahu," kata Wu.
Manuver Korporat
Beberapa anak perusahaan kontraktor militer China, yang masuk dalam bursa saham, diketahui ingin membeli sedikitnya US$3,15 miliar aset-aset dari perusahaan induk mereka di paruh kedua tahun ini. Langkah itu diketahui dari keterangan di lantai bursa saham di Shanghai dan Shenzen.
Langkah pembelian ini bakal melipatgandakan nilai-nilai aset terkait militer yang disuntik ke perusahaan-perusahaan itu sejak 2007. Beijing rupanya tengah gencar melaksanakan program ambisius untuk memprivatisasi sebagian besar industri senjata, yang mempekerjakan lebih dari satu juta orang di lebih dari 1.000 badan usaha milik negara.
Tujuan jangka panjangnya adalah mentransformasi beberapa kontraktor terkemuka - seperti China State Shipbuilding Corporation (CSSC), Aviation Industry Corporation of China (AVIC) dan China Aerospace Science and Industry Corporation - menjadi seperti model perusahaan alutsista asal Amerika, seperti Lockheed Martin dan Northrop Grumman atau BAE Systems dari Inggris.
Rencana membeli lebih banyak aset perusahaan-perusahaan induk kontraktor militer itu akan membuat anak-anak perusahaannya - yang sudah go public di bursa saham - bisa menggalang dana lebih banyak untuk mendanai riset dan pengembangan teknologi militer China.
Menurut kantor berita Reuters, China tidak hanya mengimpor senjata dari Rusia. Perlahan-lahan, Beijing juga mendukung alih teknologi dan membangunan kompleks industri militer secara besar-besaran, sehingga di masa depan tidak lagi bergantung dari luar negeri.
Walau masih dikendalikan rezim komunis, China dikabarkan melibatkan pihak swasta nasional untuk mendukung industri strategis ini, baik dari segi pendanaan maupun pengembangan riset dan teknologi. Pembangunan industri militer nasional itu, seiring dengan terus bertambahnya anggaran militer dari tahun ke tahun, mengundang penasaran dari beberapa negara.
Kemandirian China dalam industri alutsista itu tidak lepas dari kebijakan negara-negara Barat, yang melarang penjualan senjata ke Tiongkok sejak Tragedi Tiananmen 1989. Negara-negara Barat, seperti AS dan Eropa, dikenal mengaitkan situasi hak asasi manusia di negara pengimpor sebagai syarat kerjasama jual-beli alutsista.
Situasi itu memotivasi China untuk membuat senjata secara mandiri. Menurut kalangan pengamat China dan Barat, lambat-laun Beijing mulai percaya diri mengurangi ketergantungan atas Rusia dan negara-negara pemasok.
Kemampuan China itu sejalan dengan dinamisnya ekonomi mereka dalam tiga dekade terakhir. "Sektor pertahanan suatu negara harus mencerminkan kekuatan ekonomi yang bersangkutan," kata Wu Da, seorang manajer portofolio dari Changsheng Fund Management Co Ltd, firma berbasis di Beijing yang berinvestasi di saham-saham pertahanan China.
Namun, Wu menilai bahwa pemerintah terus menjaga ketat kerahasiaan sektor pertahanan ini. Maka sulit untuk diakses seberapa besar perkembangan industri itu.
"Beberapa kelompok usaha pertahanan China sudah cukup kuat setelah begitu besar belanja militer dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kita tidak tahu secara pasti seberapa besar perkembangan mereka secara finansial atau teknologi karena China tidak ingin yang lain tahu," kata Wu.
Manuver Korporat
Beberapa anak perusahaan kontraktor militer China, yang masuk dalam bursa saham, diketahui ingin membeli sedikitnya US$3,15 miliar aset-aset dari perusahaan induk mereka di paruh kedua tahun ini. Langkah itu diketahui dari keterangan di lantai bursa saham di Shanghai dan Shenzen.
Langkah pembelian ini bakal melipatgandakan nilai-nilai aset terkait militer yang disuntik ke perusahaan-perusahaan itu sejak 2007. Beijing rupanya tengah gencar melaksanakan program ambisius untuk memprivatisasi sebagian besar industri senjata, yang mempekerjakan lebih dari satu juta orang di lebih dari 1.000 badan usaha milik negara.
Tujuan jangka panjangnya adalah mentransformasi beberapa kontraktor terkemuka - seperti China State Shipbuilding Corporation (CSSC), Aviation Industry Corporation of China (AVIC) dan China Aerospace Science and Industry Corporation - menjadi seperti model perusahaan alutsista asal Amerika, seperti Lockheed Martin dan Northrop Grumman atau BAE Systems dari Inggris.
Rencana membeli lebih banyak aset perusahaan-perusahaan induk kontraktor militer itu akan membuat anak-anak perusahaannya - yang sudah go public di bursa saham - bisa menggalang dana lebih banyak untuk mendanai riset dan pengembangan teknologi militer China.
Sumber: Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMEN POSITIF "OK"