Halaman

Powered By Blogger

SELAMAT DATANG DI ZMID

"ZMID" adalah kulasan berita yang berisi tentang Politik dan dunia militer baik dalam maupun luar negeri.

Sabtu, 21 Desember 2013

Menhan Resmikan Tiga Kapal Perang Buatan Batam



VIVAnews - Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Purnomo Yusgiantoro, meresmikan tiga kapal perang buatan Batam yang dikerjakan putra-putri Indonesia, Jumat 20 Desember 2013 sore di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau.

Ketiga kapal perang itu adalah Kapal Republik Indonesia (KRI) Alamang 644, Kapal Angkatan Laut (KAL) Bireun II-1-63 dan KAL Kumai I-6-58. 

Kapal-kapal terbuat dari baja khusus High Tensile Steel yang diproduksi PT Palindo Marine Shipyard Batam. Bahan baja tersebut diproduksi PT Krakatau Steel, Cilegon.

KRI Alamang 644 merupakan jenis kapal cepat rudal (KCR) dengan spesifikasi teknologi tinggi dengan panjang 44 meter, lebar 8 meter, tinggi 3,4 meter dan sistem propulasi fixed propeler 5 daun. 

Kapal yang disiapkan untuk penambahan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AL dalam mengamankan wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu, mampu berlayar dengan kecepatan 35 knot. 

Sudah empat kapal tipe KCR 40 yang diproduksi di Batam. Kapal seharga Rp73 miliar ini untuk menambah armada dan kekuatan TNI AL, sebelumnya ada KRI Clurit 641 yang diresmikan pada April 2011, KRI Kujang 642 pada Februari 2012 dan KRI Beladau 643 diresmikan 25 Januari 2013.

Kapal KCR 40 ini dipersenjatai rudal anti kapal C-705 buatan China. Rudal-rudal itu ditempatkan di bagian buritan dengan posisi melintang. Pada bagian depan juga terpasang meriamClosed In Weapon System (CIWS) kaliber 30 mm, sementara di bagian anjungan belakang akan di pasang 2 buah meriam 20 mm.

"Kapal KRI Alamang 644 nantinya akan digunakan untuk memperkuat pengamanan laut di wilayah armada barat (Armabar). Kapal ini cocok dengan karakteristik wilayah barat yang lautnya lebih dangkal karena bentuknya yang kecil," kata Purnomo.

Meskipun bentuknya lebih kecil dibandingkan kapal perang lain,  namun kapal jenis ini bisa lebih cepat dalam melakukan manuver saat digunakan untuk penjagaan dan pengamanan di laut. 

"Tak kalah penting kapal ini dilengkapi rudal dan meriam yang jarak jangkauan tembaknya 150 kilometer," katanya.

Purnomo menjelaskan, wilayah Republik Indonesia yang sebagai besar laut dan merupakan negara kepulauan yang berkarateristik maritim, pengamananya akan sangat terbantu dengan keberadaan KRI Alamang 644. 

"KRI Alamang 644 diciptakan untuk operasi militer pertempuran dan perang, selain itu bisa digunakan dalam tugas TNI AL dalam menjaga keamanan laut," ujar Purnomo.


Sumber: Vivanews

TNI AD Berencana Tambah 50 Tank Ringan


TRIBUNNEWS.COM, CIMAHI - TNI Angkatan Darat (AD) berencana mendapatkan 50 alat utama sistem senjata (Alutsista) berupa tank ringan Marder buatan Jerman pada 2014 mendatang.
Alat tersebut rencananya akan dilaunching sekaligus diperkenalkan di Hari Jadi TNI ke-69 pada 5 Oktober 2014 di Surabaya.
Demikian dikatakan Danpussenif Mayjen TNI I Made Agra Sudiantara kepada wartawan seusai acara peringatan ulang tahun ke-65 Infanteri di Lapangan Tembak Gunung Bohong, Kota Cimahi, Kamis (19/12/2013).
Dengan adanya penambahan kendaraan bersenjata tersebut, dikatakan Agra, selain akan menambah kekuatan pengamanan nagara kedaulatan RI juga memberikan semangat tinggi bagi seluruh jajaran TNI AD.
Sementara itu Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Dedi Kusnadi Thamim mengatakan melalui peringatan Hari Jadi Infanteri ke-65, semangat dan jiwa juang TNI untuk menjaga kedaulatan bangsa ini harus terus ditingkatkan.
Acara peringatan HUT ke-65 Infanteri di Lapangan Tembak Gunung Bohong, berlangsung sejak pagi hingga siang. Pada acara itu juga digelar berbagai atraksi dan kamahiran anggota TNI AD, mulai dari terjun payung, beladiri, drumband, parade kendaraan militer dan motrcros serta mobil offroad ikatan motor. 

Sumber: Tribun news

Rabu, 16 Oktober 2013

Test Drive Panser Anoa VVIP, Panser Kepresidenan Produksi PT Pindad


Sebagai orang nomor satu, presiden harus mendapat fasilitas nomor satu. Karena itulah, disediakan fasilitas mobil khusus presiden, pesawat kepresidenan, dan yang baru selesai dibuat: panser kepresidenan. Pekan lalu Jawa Pos mendapat kesempatan merasakan ketangguhan dan kenyamanannya.
 
M. Salsabyl Ad'n, Bandung
 

Sebagai salah satu negara di dunia yang aman, tenteram, dan jarang mengerahkan persenjataan militer untuk konfrontasi, Indonesia patut berbangga memiliki PT Pindad. Perusahaan negara itu tak henti-hentinya melakukan inovasi untuk memenuhi amanat menyiapkan alat utama sistem persenjataan (alutista) terbaik dan termodern buat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri.  
 
Kebanggan itulah yang dirasakan Jawa Pos saat menyusuri kantor pusat sekaligus tempat produksi Pindad di Bandung pekan lalu. Baru memasuki pintu gerbang, pandangan langsung menjumpai gudang yang berisi kendaraan-kendaraan superbesar. Mulai truk pengangkut TNI yang sering dijumpai di jalanan hingga kendaraan militer seperti panser dengan bodi baja yang tebal.
 
Namun, di antara puluhan kendaraan di gedung-gedung ukuran besar tersebut, Jawa Pos diarahkan salah seorang staf Pindad untuk mengunjungi beberapa panser yang terlihat mendapat perlakuan istimewa. Sebetulnya, saat Jawa Pos pertama melihat, tidak ada satu pun hal yang membuat panser itu layak dinilai istimewa bila dibandingkan dengan panser yang lain.
 
Namun, ketika kesempatan menengok bagian dalam diberikan, kesan yang muncul justru sebaliknya. Sewaktu dibuka, panser tersebut dilengkapi kursi busa nan nyaman. Seperti di kokpit pesawat kelas eksekutif. Di depannya, layar besar tampak mewah terpajang. Dilihat dari modelnya, layar itu lebih seperti televisi mahal untuk hiburan daripada layar pemantau yang biasanya ada di kendaraan militer. Bahkan, di dalam panser tersebut ada kulkas kecil. Selintas mirip dengan fasilitas di limosin mewah.
 
PT Pindad memang sengaja memasang fitur yang berbeda untuk panser yang satu ini. Semua perangkat yang disematkan di interior panser spesial itu serbanyaman. Maklum saja, calon pengguna panser tersebut bukan sembarang orang. Dialah panglima seluruh angkatan bersenjata TNI-Polri: pesiden Republik Indonesia.
 
Ya, panser itu bakal menjadi salah satu moda transportasi RI-1 selain mobil dinas. Tentu saja panser tersebut digunakan ketika keadaan darurat, saat nyawa pucuk pimpinan pemerintahan terancam. Panser yang dinamai Anoa VVIP tersebut diciptakan sebagai kendaraan militer pertama yang dirancang khusus untuk pejabat negara.
 
Manajer Pemasaran PT Pindad Sena Maulana menjelaskan, PT Pindad telah merampungkan empat unit"panser"Anoa yang dipesan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Perinciannya, tiga unit Anoa VVIP dan satu unit mobil"panser"untuk kendaraan pengawal. "Kami mendapat pesanan sekitar empat bulan lalu. Sebelumnya Paspampres punya"panser. Tapi, kali ini pemesanannya khusus untuk presiden," ujarnya kepada Jawa Pos.
 
Untuk proyek dari istana tersebut, Sena mengakui, pihak perusahaan memberikan prioritas tertinggi. Karena itu, waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama. "Sebenarnya Anoa tersebut diciptakan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Jadi, kalau kita beli dari luar negeri, kan seadanya yang dijual itu yang didapatkan. Karena ini adalah industri pertahanan nasional, kita harus memenuhi kebutuhan pemerintah," ujarnya.
 
Lalu, apa sebenarnya yang membedakan Anoa VVIP dengan Anoa tipe lainnya? Sena menjelaskan, secara spesifikasi, tidak ada yang berbeda. Dengan lapisan baja setebal 10 mm, bodi kendaraan itu bisa menahan peluru berkaliber 7,62 mm. Bahkan, lapisan bisa di-upgrade untuk menahan peluru berkaliber 12,7 mm. "Ini nanti untuk perlindungan presiden dan keluarga presiden serta anggota kabinet. Pokoknya, siapa pun yang digolongkan VVIP oleh Paspampres," tambahnya.
 
Yang berbeda adalah interior yang khusus diperuntukkan kenyamanan presiden dan keluarga. Kendaraan tersebut dibagi menjadi dua bagian. Yakni, operasional di bagian depan. Bagian tersebut diperuntukkan pengendara dan komandan kendaraan. Lalu, di belakangnya barulah ruang yang diisi dua kursi untuk presiden dan istri serta dua kursi untuk pengawal.
 
"Kursi tersebut sangat aman terhadap ranjau sekaligus nyaman untuk presiden. Selain itu, ada fasilitas audio visual. Juga, kulkas untuk kebutuhan seperti minuman dingin. Kami juga memasang tangga hidrolis sehingga presiden bisa masuk dan keluar dengan mudah," ungkapnya. Dengan demikian, presiden tinggal duduk, pengemudi tekan tombol, kursi akan bergerak ke posisi yang paling nyaman di dalam panser.
 
Bukan hanya kenyamanan, Pindad sangat memperhatikan fitur keamanan. Misalnya, kamera yang diinstal pada depan dan belakang kendaraan. Kamera tersebut bisa melihat 360 derajat pemandangan di sekitar mobil baja. Pemandangan tersebut bisa dilihat melalui layar di dalam ruang VVIP. "Kamera ini juga dilengkapi thermal imaging"(teknologi mengambil objek gambar berdasar suhu). Karena itu, mereka bisa tetap melihat keadaan sekitar saat lampu tak berfungsi dan keadaan gelap total," ungkapnya.
 
Ketika ditanya kemungkinan produksi Anoa VVIP lagi "untuk kebutuhan ekspor, misalnya" Sena menyatakan, pihaknya" belum memikirkan hal tersebut. Sebab, Anoa VVIP adalah produk khusus yang dipesan Paspampres. "Misalnya untuk negara lain. Bisa saja. Tapi, setiap negara kan punya prosedur pengamanan VVIP yang berbeda-beda. Kalau untuk swasta, kami belum bisa," ungkapnya.
 
Bagaimana dengan biaya produksi? Soal dana, Sena mengatakan bahwa fitur yang ditambahkan tidak secara signifikan menambah harga Anoa. Dia menyebutkan, harga satu unit Anoa bisa mencapai sekitar Rp 8 miliar. Sampai saat ini produk tersebut telah dirancang tujuh varian. Di antaranya, varian ambulans,"angkut personel (APC),"komando,"logistik BBM, logistik munisi,"dan mortar carrier. "Ya tidak berubah signifikan, kan yang diubah hanya interiornya. Pakemnya tetap sama. Produk ini kan"dianggarkan dalam anggaran Paspampres yang dipesan melalui Mabes TNI. Jadi, tidak langsung dibayar," ungkapnya. 

sumber: JPNN

Minggu, 13 Oktober 2013

Submarine base nears completion


The Royal Thai Navy plans to complete the construction of a submarine squadron headquarters and training centre in March next year, despite not having any submarines in its fleet.
Construction on the project began last year at Chon Buri's Sattahip Naval Base. The navy is eyeing the purchase of at least three submarines as part of its next 10-year procurement plan.
Rear Admiral Panu Punyavirocha, Submarine squadron chief
Submarine squadron chief Panu Punyavirocha said the new headquarters will cost 540 million baht. About 200 million baht of that is being spent on the Submarine Command Team Trainer, which will include a crew training stimulator.
Former navy chief Adm Kamthorn Pumhiran ordered the submarine squadron to be formed in April 2011 in anticipation of the government's green light to purchase four used German submarines worth 7 billion baht.
The plan's cost-effectiveness and transparency were questioned, however, and in the end the government failed to approve the procurement in time for the purchase deadline set by Germany.
"Submarines are of strategic importance to Thailand," Rear Adm Panu said Saturday.
He insisted submarines are unique compared to other armaments in terms of their strategic capabilities. If territorial disputes in the South China Sea escalate, sea transport in the Gulf of Thailand could be shut down with severe economic ramifications, Rear Adm Panu said.
"The navy must maintain its defensive capabilities to ensure the free movement of vessels in and out of the Gulf of Thailand under all circumstances. This is a matter of sovereignty and territorial integrity," the squadron chief said.
Submarines would also act as a deterrent to hostile parties seeking to encroach into Thailand's maritime territory, he said.
Indonesia, Singapore, Malaysia and Vietnam have all commissioned submarine fleets and plan to procure more, Rear Adm Panu said, adding that there are now 19 submarines operating in neighbouring waters.
"Submarines are the invisible force of deterrence. They constitute a covert naval strength as they are nowhere to be seen but are present everywhere," he said.
Navy chief Narong Pipatanasai echoed the need for submarines.
"Although we don't have tens of billions of baht to spend on submarines, the navy must be prepared for when we will have them in the near future," the navy chief said, referring to the new training centre.
A Defence Ministry source said Prime Minister Yingluck Shinawatra, who doubles as defence minister, had instructed Supreme Commander Thanasak Patimaprakorn to devise a 10-year development plan for the armed forces.
The plan will sound out what armaments each branch of the military needs or wants.
Submarines will be included in the navy's 10-year plan, the source said.
Submarines will be important for maritime security when the Dawei deep sea port opens in Myanmar, with shipping lanes around the western coast expected to be bustling, the source added.
Rear Adm Panu said the navy needs at least three submarines, ranging in size from 500- to 3,000-tonne displacement. He dismissed concerns the Gulf of Thailand may be too shallow for submarines to operate.
He said several submarines from other countries had conducted drills in the Gulf.
"Those foreign navies probably know more than we do about the underwater terrain in the Gulf of Thailand," he said.
The navy has sent 18 officers for a 32-week submarine training course in Germany, and another 10 for a similar eight-week course in South Korea.
The navy plans to send more officers to attend exercises and seminars abroad to boost their knowledge of submarines, Rear Adm Panu said.
The new submarine training school will produce personnel with the skills to operate a future submarine fleet, he added.

Sumber: Bangkok post

Pindad produksi roket pertama yang dikendalikan GPS


PT Pindad tengah mengembangkan roket balistik pertama buatan Indonesia bernama Rhan 122. Roket ini bisa menembak dengan jarak 15 kilometer (Km) dan dikendalikan dengan GPS. Pada proyek ini Pindad tergabung bersama PT Dirgantara Indonesia, Dahana, Ristek dan BPPT dalam sebuah konsorsium.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT Pindad, Wahyu Utomo, mengatakan roket balistik ini pernah di uji coba di Baturaja, Sumatera Selatan serta di Garut Selatan.
"Roket kita masih konsorsium, sudah di uji coba karena kita butuh lahan tembak," ucap Wahyu ketika ditemui di Monas, Jakarta, Jumat (4/10).
Pembuatan roket masih dalam tahap penyempurnaan dan mendapatkan tabel tembak. Tabel tembak baru bisa didapat jika sudah dilakukan pengujian beberapa kali dan tembakannya akurat.
"Tabel tembak, kita harus nembakin berapa ratus kali dan sekian kali. Kalau itu akurat baru dibuat tabel tembak. Nama roketnya Rhan 122," katanya.
Roket ini nantinya akan dipakai oleh TNI. Pasalnya, selama ini TNI masih memakai produk impor. Menurut Wahyu ini adalah roket balistik pertama untuk industri pertahanan.
"Sekarang ini akan diuji dulu. Ini roket balistik pertama untuk pertahanan. Ini nanti bisa kendalikan GPS di sirip siripnya kita kendalikan. Nanti ada GPS segala macam dan ini generasi pertama," jelasnya.
Roket ini ditargetkan bisa digunakan pada tahun 2015 mendatang. "Tergantung pemerintah tabel tembak selama 2 tahun lagi lah," tutupnya.

Sumber: Merdeka.com

Selasa, 08 Oktober 2013

Su-35S overtakes F-22 in terms of ‘intellect’

The advanced front line aviation complex PAK FA (the T-50) is completing its compulsory test phases successfully. The production fifth generation fighter is expected to enter service with the military from 2017. Meanwhile however front line units are already being equipped with an almost exact counterpart to this aircraft - the Su-35S multi-role fighter.
The point is that along with creating the virtual fifth generation fighter concept - from the very beginning it has been designed solely in digital form - the ready-made components of the future fighter were implemented and developed on the Su-35S platform. As a result the 4++ generation Su-35Swas practically on a par with a fifth generation fighter across all its characteristics except the so-called stealth technology, right up to the moment it entered series production.
The Su-35S is capable of reaching speeds of up 2,400 km per hour and has a range of up to 3,600 km. It is equally confident as a fighter, a long-range interceptor and a missile-carrying bomber.
Moreover in terms of certain characteristics the Su-35S has already overtaken the only fifth generation fighter to enter service to date the American F-22 Raptor.  Thus, the ‘Irbis’ radar control system fitted to the Su-35S is able to detect an airborne target at a record distance of up to 400 km and of tracking up to 30 targets and engaging 8 simultaneously. The radar system on the F-22 is weaker: the maximum detection range is only 300 km. Apart from that the ‘Irbis’ provides the potential to actively detect and track up to four ground targets simultaneously. In addition the Su-35S is fitted with a navigation system capable of pinpointing the aircraft’s location and its movement parameters autonomously without resorting to satellite navigation or communication with ground stations. That is to say if the GPS or GLONASS were switched off the aircraft would not be ‘blinded’.
The Russian Air Force is due to receive 48 Su-35S aircraft before the end of 2015. In practical terms that’s 50 fifth generation aircraft in as much as the Su35S is almost identical to the PAK FA in terms of the on board electronics suite, control systems and armament. Therefore it will not prove difficult for pilots to convert to the classic fifth generation fighter with its obligatory stealth technology: any pilot who has assimilated the Su-35S can easily convert to the T-50. This means that the conversion to fifth generation fighters does not start in 2017 - it is already happening now in the Russian Air Force.
The ideology of the aircraft that will dominate the skies in the second half of the 21st Century is being determined today. Whether these will be flying robots or classic manned fighters with even more up to date electronics and new armament is not really important. The main point is that the Russian aircraft industry has a head start in developing a sixth generation fighter. The quicker the Su-35S enters service with front line units and the greater their numbers, the more successful work to create a new generation of fighter aircraft will be.

Sumber: R&I

Indonesia eyes more jet fighters



Indonesia is aiming to create eight new squadrons of fighter aircraft by 2024 as part of military upgrade programs, the head of the air force said.

The Indonesian Defense Force also is set to train more pilots to cope with what could be more than 100 new jet fighters if each squadron has around 16 aircraft, the Jakarta Globe newspaper reported.

"We hope that by 2024 we will have eight squadrons of fighter aircraft," Air Chief Marshal Ida Bagus Putu Dunia said.

He was speaking during a ceremony at the Sultan Hasanuddin Air Force Base in Makassar on Sulawesi Island in which the air force officially received six Russian-made Sukhoi SU-30MK2 fighter aircraft -- the last of a contract for 16 Sukhoi aircraft signed in 2007.

The Jakarta Globe report said each squadron is expected to consist of 16 Sukhoi jets, although the newspaper didn't quote Dunia specifying what the aircraft might be.

Ida said the Sukhoi jets were sophisticated fighter aircraft that offer a high deterrence and will strengthen the Indonesian air force.

The deal on the Sukhois that includes pilot training is for the air force's Squadron 11 at Hasanuddin Air Base in Makassar.

"[We] have a sufficient number of pilots to operate them, but we also are preparing pilots for new fighter aircraft," he said.

In early September the Jakarta Post newspaper reported that the last two Sukhoi fighters had arrived from Russia at the Hasanuddin base in an Antanov An-124 transport aircraft.The Sukhoi aircraft were in completely knocked-down condition. 

"The manufacturer also sent 13 technicians to assemble the aircraft [and] perform a series of tests before handing them over to the government," Hasanuddin base spokesman Maj. Muliadi said at the time.

He said usually it would take a week for the technicians to assemble the aircraft and perform the tests.

Weapons for the aircraft are being procured under separate contracts, he said.
The air force also is looking to replace its old Northrop F-5 Tiger fighter aircraft, Ida said.
"We are looking at our options as it is important to find a more sophisticated replacement," he said.

Defense Minister Purnomo Yusgiantoro confirmed the government's plan to replace its F-5 Tigers, the Jakarta Globe reported.

Yusgiantoro said the military had received a squadron of 16 supersonic advanced trainer T-50 Golden Eagle T-50s -- so-called baby F-16s -- from South Korea at the Iswahyudi Military Air Base in Madiun, on Java Island.

The T-50, which also can be used as a light fighter, was developed by Korea Aerospace Industries and Lockheed Martin and is South Korea's first indigenous supersonic aircraft. Its maiden flight was in 2002 and it entered service with the Republic of Korea Air Force in 2005.


Sumber: SD

Sabtu, 07 September 2013

Rusia Diminta Tak Gegabah Jual Teknologi Militer ke China



VIVAnews - Dalam beberapa pekan terakhir, laporan media massa mengungkapkan bahwa China dan Rusia kembali mempererat bisnis jual-beli senjata. China pun baru-baru ini ingin segera membeli 24 unit pesawat tempur Su-35 buatan Rusia. 

Namun, kalangan pengamat di media massa Rusia memperingatkan pemerintah agar tidak gegabah langsung menjual begitu saja alat utama sistem persenjataan andalan mereka kepada China, negara yang kini tampil menjadi kekuatan ekonomi baru. Apalagi Su-35 termasuk jet tempur berteknologi paling mutakhir di dunia. 

Di permukaan, kesepakatan ini tampak saling menguntungkan. Rusia mendapat konsumen kelas kakap, sedangkan China mendapat akses ke salah satu teknologi pertahanan terbaik di dunia. Jual-beli ini juga tampaknya menjamin langgengnya kerjasama kedua negara untuk jangka panjang.  

Namun, kalangan pengamat mewanti-wanti Rusia untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lampau. Pengamat China-Rusia, Harry Kazianis, menilai bahwa di masa lampau penjualan produk mutakhir Moskow ke Beijing bisa dipandang kesalahan yang konyol, seperti yang terjadi pada kontrak jual-beli pesawat Su-27 Flanker pada dekade 1990an. 

Dalam tulisannya di The Moscow Times, Kazianis menilai kesalahan itu berakhir kerugian bagi Rusia. Kontrak jet Su-27 putus di tengah jalan, namun China sudah terlanjur mendapatkan teknologi dan desain jet tempur itu, lalu mereka kembangkan sendiri menjadi produk baru. 

Ini bermula saat industri persenjataan Rusia menderita kesulitan keuangan setelah bubarnya Uni Soviet di awal dekade 1990an. Saat itu, Moskow mau saja menjual alutsistanya kepada China, yang saat itu mulai mengalami kebangkitan ekonomi dan memulai program modernisasi persenjataan. Hubungan dua negara tersebut ketika itu mulai membaik setelah sempat bersitegang selama bertahun-tahun, bahkan sempat bentrok di perbatasan pada 1969. 

Bagi China, mendapatkan teknologi alutsista mutakhir merupakan kebutuhan penting. Para ahli strategi di China saat itu terkesima akan pesatnya kemampuan AS dalam mengusir militer Irak dari Kuwait pada Perang Teluk 1990-1991. 

Beijing sadar bahwa persenjataannya mereka, walau berjumlah banyak, namun sudah dipandang kuno. Sebaliknya, AS sudah memiliki amunisi canggih, pesawat pengebom siluman, dan jet tempur yang mutakhir. Maka, teknologi Rusia dipandang cocok untuk mengimbangi kekuatan militer AS. Apalagi Moskow saat itu sedang butuh dana besar untuk membangun kembali perekonomiannya setelah Uni Soviet bubar.

Pada 1996, China dan Rusia mempererat kerjasama bisnis persenjataan. Beijing tidak hanya membeli jet Sukhoi, namun saat itu juga sepakat merogoh US$2,5 miliar untuk mendapat lisensi dari Moskow dalam membuat 200 unit tambahan Su-27 di pabrik mereka sendiri, yang dikelola perusahaan Shenyang Aircraft Co. 

Dengan membeli lisensi itu, China bisa merakit pesawat Su-27 dan hanya impor beberapa komponen tertentu dari Rusia, seperti sistem avionik, radar, dan mesin. China hanya diminta Rusia tidak boleh mengekspor jet-jet itu ke luar negeri selain untuk kepentingan sendiri.    

Namun, kerjasama itu memiliki celah yang akhirnya merugikan Rusia. Setelah merakit sekitar 100 unit jet Su-27, China pada 2004 membatalkan kontrak dengan Rusia. Alasannya, pesawat itu tidak memenuhi spesifikasi yang mereka harapkan. 
 
Tiga tahun kemudian, China berhasil membuat sendiri jet tempur baru, bernama J-11B. Pesawatnya hampir mirip dengan Su-27. China pun membantah tudingan bahwa mereka mencontek jet buatan Rusia dengan mengatakan bahwa 90 persen suku cadang mereka buat sendiri dan itu termasuk sistem avionik dan peralatan radar. 

Kini, Rusia dianggap berisiko mengulangi kesalahan itu dengan berencana menjual Su-5 kepada China. Jumlahnya sekitar 24 unit dengan harga transaksi antara US$1,5 miliar hingga US$2 miliar.   
 
Kerjasama inilah yang patut dicermati oleh Rusia. Kalangan pengamat seperti Kazianis mewanti-wanti kerugian seperti proyek Su-27 jangan terjadi lagi. Di samping faktor komersil, Rusia juga harus mempertimbangkan kepentingan strategisnya sendiri. 

"Rusia akan mendapat manfaat yang sangat sedikit dalam menjual teknologi pertahanan terbaiknya kepada China. Sudah ada hikmah yang bisa diambil dari masa lalu, jangan sampai lagi terulang kesalahan yang sama," tulis Kazianis. 


Sumber: Vivanews

Kamis, 29 Agustus 2013

Rusia Akan Kirim Kapal Perang ke Laut Tengah



MOSKWA, KOMPAS.com - Rusia dikabarkan berencana mengirim dua kapal perangnya ke Laut Tengah untuk memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut karena "situasi yang sudah diketahui bersama". Demikian kantor berita Interfax mengabarkan, Kamis (29/8/2013).

Interfax mengutip pernyataan seorang sumber angkatan bersenjata yang mengatakan kapal perang anti-kapal selam dan kapal serbu itu akan tiba di Laut Tengah dalam beberapa hari ke depan.

Jika benar Rusia mengirim kan kapal perangnya ke Laut Tengah, maka kemungkinan besar mereka akan bertemu dengan kapal-kapal perang AS yang kini bersiaga di kawasan yang sama.

Setidaknya AS menyiagakan empat kapal perang di Laut Tengah untuk mengantisipasi rencana serangan militer ke Suriah.

Sepanjang konflik bersenjata Suriah yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun ini, Rusia memang dikenal menjadi salah satu sekutu kuat rezim Bashar al-Assad selain China dan Iran.

Di tengah konflik yang semakin memanas, Rusia diketahui tetap memasok rudal-rudal anti-serangan udara S300 untuk militer Suriah, dengan dalih pengiriman itu merupakan bagian dari perjanjian yang sudah sejak lama diteken.

Dukungan Rusia kembali terlihat setelah insiden serangan senjata kimia di Ghouta dekat ibu kota Damaskus pekan lalu.

Di saat AS dan sekutunya serta negara-negara Timur Tengah menuding rezim Suriah berada di balik serangan brutal tersebut, lagi-lagi Rusia meyakini pelaku serangan senjata kimia bukanlah pemerintah Suriah.

Bahkan, saat wacana serangan militer ke Suriah semakin gencar, Rusia tetap bersikukuh membela Suriah dan memperingatkan dampak serangan militer terhadap stabilitas Timur Tengah pada umumnya.


Sumber: Kompas

TNI AU Gelar Latihan Angkasa Yudha di Tanjung Pandan


JAKARTA (Pos Kota) – Latihan manouver lapangan (Manlap) TNI AU Angkasa Yudha tahun 2012 di gelar di Air Weapon Range (AWR) Buding Lanud H. AS Hanandjoeddin Tanjung Pandan, P. Belitung pada Selasa (23/10/2012), diawali dengan Latihan Pos Komando (Latposko) selama tiga hari dari tanggal 10-12 Oktober di Seskoau Lembang. Bandung.
Dalam Latposko melibatkan unsure Komando Pengendali (Kodal), Pengawas Pengendali (Wasdal), unsur pelaku serta melibatkan Satuan Tugas Informasi (Satgas Info).
Sedang dalam manlap Angkasa Yuhda 2012 melibatkan beberapa unsur satuan TNI AU, baik unsur pesawat tempur, angkut, helikopter dan pasukan, seperti Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi yang mengerahkan pesawat F-16 Fighting Falcon, Skadron Udara 11 Lanud Sultan Hasanuddin Makassar dengan pesawat SU-27/30 Sukhoi.
Pesawat angkut melibatkan Skadron Udara 2 dan 31 Lanud Halim Perdanakusuma, Skadron Udara 4 dan Skadron Udara 32 Lanud Abdurachman Saleh Malang, unsur intai Skadron Udara 5 Lanud Sultan Hasanuddin serta serta unsur SAR dari Skadron Udara 7 Lanud Atang Sendjaja Bogor.
Sedangkan pasukan yang terlibat terdiri dari satu tim Pengendali Tempur (Dalpur) Paskhas, Detasemen Bravo, Satuan Tempur (Satpur), Pengendali Pangkalan (Dalan) serta SAR Tempur (Sarpur).
Disimulasikan, bahwa AWR Buding dikuasai oleh musuh yang akan merebut NKRI, dengan segala kekuatan udaranya TNI AU melaksanakan operasi udara yang melibatkan satuan-satuan udara untuk merebut kembali AWR  Buding, diawali dengan pengintaian oleh pesawat boeing pada sasaran yang disusul serangan udara langsung pesawat-pesawat tempur pada sasaran.
Setelah penggempuran, dilaksanakan pembersihan sisa-sisa musuh oleh Paskhas yang diterjunkan oleh pesawat angkut C-130 Hercules, dan setelah berhasil dikuasai dilakukan penerjunan Pengendali Pangkalan untuk mengoperasikan kembali AWR Buding.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan UdaraAzman Yunus
Marsekal Pertama TN

Sumber: poskota

Jumat, 09 Agustus 2013

Mengembangkan Industri Pertahanan


CN-235
Dalam kesempatan kunjungan resmi ke Korea Selatan sebagai kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia,salah satu acara formal adalah mengunjungi lokasi strategis Angkatan Udara Korea di luar Kota Seoul. Perjalanan ke tempat tersebut dilakukan menggunakan pesawat helikopter yang berbasis di salah satu pangkalan udara yang berdampingan dengan US Air Force Base, unit dari Angkatan Udara Amerika Serikat.  Selesai acara resmi, rombongan kami saat itu tertunda lebih kurang satu jam dalam jadwal perjalanan kembali ke Seoul karena cuaca yang berubah buruk. Seorang kolonel menghadap saya menjelaskan bahwa perjalanan kembali ke Seoul tidak dapat dilaksanakan menggunakan helikopter atau pesawat rotary wing yang tadi. Disebutkan alasannya adalah pesawat tersebut tidak bisa terbang tinggi berhubung dengan perkembangan keadaan cuaca yang memburuk. Markas Besar di Seoul memerintahkan untuk mengirim sebuah pesawat fixed wing VIP menjemput saya dan rombongan.
Setelah pesawat siap, kami pun segera bergegas menuju tempat parkir pesawat. Agak sedikit kaget karena ternyata pesawat fixed wing VIP yang disiapkan tersebut ternyata dari jenis CN-235.  Selesai melaksanakan penghormatan berjajar sesuai dengan prosedur pemberangkatan VIP,sang Captain Pilot dengan tersenyum lebar mendekat ke saya dengan mengutarakan penuh bangga bahwa saya akan diantar kembali ke Seoul dengan pesawat fixed wing terbaik yang tersedia di Korea Selatan dan itu adalah pesawat terbang “asli” buatan negara anda!  Terharu dalam hati, saya tersenyum sejenak dan mulai meneliti interior CN-235 yang sama sekali belum pernah saya saksikan sebelumnya.  Tidak bisa saya sembunyikan kekaguman terhadap disain interior CN-235 VIP Angkatan Udara Korea Selatan ini.    Baru belakangan setelah itu, saya memperoleh informasi bahwa disain dan perlengkapan VIP interior CN-235 tersebut adalah produk dari pesanan khusus Pemerintah Korea Selatan kepada pihak PTDI.   Terus terang, sangat mewah untuk ukuran Indonesia dan yang istimewa adalah sangat bersih,termasuk lantainya.   Yang lebih mengharukan saya adalah melihat bagaimana para awak pesawat bertugas di pesawat itu dengan penuh kebanggaan.    Kebanggaan dalam bertugas menerbangkan VIP dengan pesawat khusus  VIP buatan Bandung!
Di pertengahan masa jabatan saya lainnya, Panglima Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) berkunjung tidak resmi ke Surabaya dengan transit semalam di Jakarta.   Saya datang menemuinya di salah satu hotel di Jakarta Pusat.   Ada rasa ingin tahu,apa gerangan yang menjadi acara penting Panglima ke Surabaya.   Ternyata,Panglima TUDM beserta satu set kru lainnya hendak berlatih simulator CN-235 di Surabaya.   Saya bertanya kepada Panglima, Jenderal Dato’ Suleiman,  jam berapa tiba dan menggunakan apa?   Surprise sekali saya memperoleh jawaban ternyata Panglima mengemudikan sendiri pesawat CN-235 TUDM VIP dengan menyertakan dua co-pilot yang akan berlatih simulator di Surabaya.   Jenderal Dato’ Suleiman menceritakan kepada saya betapa dia sangat menikmati terbang dengan CN-235.  Saya tidak punya rating/ kemampuan menerbangkan CN-235 karena sebagian besar perjalanan terbang saya adalah menerbangkan C-130 Hercules.   Secara kebetulan, Jenderal Dato’ Suleiman juga mempunyai rating pesawat Hercules.   Dengan demikian saya dapat mendiskusikannya agak lebih teknis apa yang dimaksudkan “nikmat” menerbangkan CN-235 dan membandingkannya dengan Hercules.
Diskusi berakhir dengan pernyataan Panglima TUDM yang sangat saya percaya jauh dari basa-basi bahwa secara teknis, menerbangkan CN-235 tidaklah kalah menyenangkan dari menerbangkan Hercules.   Dia menutup pembicaraan yang penuh persahabatan itu dengan hal yang sangat mengharukan  sekaligus membuat bangga saya bahwa seluruh warga TUDM sangat bersenang hati memiliki dan mengoperasikan pesawat CN-235 produksi dari bangsa serumpun!
Belakangan ini pada salah satu kesempatan, saya berjumpa Ex Penerbang Garuda yang telah lama terbang di Korean Air.   Dia khusus ingin menceritakan  tentang satu hal yang cukup “penting” untuk disampaikan lansung kepada saya.   Dia bercerita, bahwa dalam perjalanan panjang pengalamannya terbang sebagai Captain Pilot di Korea, beberapa kali pernah terbang dengan Co-Pilot Korea yang berasal tadinya dari  Pilot Angkatan Udara Korea Selatan.   Kebetulan, sang Pilot berkebangsaan Korea itu pernah menerbangkan pesawat Angkatan Udara Korea dari Jenis CN-235 versi VVIP.   Dia bercerita kepada sahabat saya betapa dia sangat bangga dan merasa senang memiliki cukup banyak jam terbang di pesawat CN-235 buatan Indonesia tersebut.   Bangga terhadap produk pesawat terbang Indonesia, satu Negara sesama bangsa Asia.   Yang “mengenaskan” adalah, betapa sahabat saya itu secara jujur mengakui dalam hati bahwa dirinya sendiri pun tidak atau belum mengetahui ada satu produk pesawat terbang Indonesia yang “secanggih” itu untuk menjadi bahan obrolan ringan di dalam kokpit sebuah pesawat “Jumbo-moderen” produk Negara maju yang tengah mereka terbangkan berdua.
Dari tiga uraian ilustrasi tadi, kiranya telah lebih dari cukup untuk mewakili refleksi dari beberapa negara lainnya di kawasan Asia Pasifik yang juga menggunakan pesawat buatan anak bangsa CN-235.   Sekedar untuk diketahui saja, CN-235 sudah sangat luas digunakan dibanyak negara di muka bumi ini.  Beberapa diantaranya adalah : Brunei, Kamboja, Chile, Colombia, Ekuador, Perancis, Jordania, Malaysia, Mexiko, Pakistan, Papua Nugini, Korea Selatan, Saudi Arabia, Thailand, Turki, Amerika Serikat dan lainnya.   CN-235, sebenarnya telah berhasi dengan baik tampil sebagai satu  “produk unggulan”  dari IPTN  (saya lebih suka menggunakan kata IPTN yang merefleksikan spirit kepahlawanan Nurtanio, dibanding PTDI, yang bisa saja keliru dan mengingatkan kita kepada gerombolan pemberontak dimasa lalu DI-TII).
Demikianlah seyogyanya, seperti banyak pabrik pesawat  terbang terkenal dan sukses di dunia yang memang hanya bisa maju melalui salah satu produk unggulannya terlebih dahulu, baru kemudian ber-kreasi pada produk-produk jenis pesawat lainnya.   Industri Strategis pasti memerlukan “Political Will” dari Pemerintah untuk dapat bergulir dengan “subsidi” yang tidak kecil dalam proses mengawali produk satu pesawat terbang yang diunggulkan untuk dapat masuk ke “pasar”.   CN-235, sudah dibuat dalam versi Sipil dan MIliter.   Diawal kelahirannya, satu skadron CN-235 masuk dalam jajaran Angkatan Udara, sementara diwaktu yang relatif bersamaan, sejumlah CN-235 di-operasikan oleh PT Merpati Nusantara Airllines, Maskapai Penerbangan Perintis dalam melayani penerbangan di pelosok terpencil Nusantara ini.   Penggunaan di lapangan dalam jumlah yang cukup banyak dan mencakup sektor perhubungan udara sipil serta bidang operasional Angkatan Udara dari satu Negara Kepulauan yang luas seperti Indonesia telah menjadikan CN-235 dilirik banyak Negara untuk dikembangkan.   Thailand menggunakan pertamakali untuk keperluan eksperimen hujan buatan, Malaysia dan Korea Selatan, konon bahkan menggunakan CN-235 sebagai pesawat VIP Kepala Negara.   Sementara beberapa perusahaan avionic (aviation electronic) terkemuka di Eropa mendorong pengembangan CN-235 sebagai Variant dari pesawat  “patroli-maritim” untuk Angkatan Udara.
Bila belakangan ini banyak pertanyaan tentang bagaimana nasib IPTN, maka jawabannya adalah “fenomena” CN-235 patut untuk menjadi pertimbangan serius dalam upaya untuk bisa bangkit kembali.   Sekali lagi Political Will Pemerintah, beriringan dengan subsidi, lebih mudah merangsang pengembangan satu produk unggulan untuk menembus pasar.   Produk yang banyak digunakan setelah berhasil masuk pasar akan lebih mudah berkembang lagi sebagai hasil dari proses penyempurnaan (research and development) dari kualitas satu jenis produksi.   Agak terhenti lajunya “snow-ball” dari jalur produksi pesawat CN-235, yang sebenarnya bisa berperan sebagai “produk-unggulan”  IPTN, pasti sangat disayangkan.  Sayang , bila para pengguna dari CN-235 yang sudah begitu luas di panggung Global akan berhadapan dengan kondisi  “layaknya seperti anak ayam yang kehilangan induknya”.

Sumber: CH

Sabtu, 13 Juli 2013

PESAWAT TEMPUR MIG, SI CANGGIH YANG KURANG DIKENAL

Produsen pesawat tempur MiG Rusia "Biro Desain Mikoyan" telah mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Padahal selama ini, kata "MiG" sudah menjadi simbol kekuatan penerbangan militer Uni Soviet. Saat ini, meskipun memiliki sejarah yang harum, nyatanya Mikoyan mengalami kerugian setiap tahun dan menjadi penerima reguler dari subsidi pemerintah Rusia.
MiG-29 Hongaria
MiG-29 Angkatan Udara Hongaria saat Koksijde Airshow 2005 di Belanda
(Kredi foto : Coert van Breda / nl.wikipedia)

Perspektif di pasar senjata internasional ternyata tidak mendorong perbaikan situasi Mikoyan. Pada akhir 2011 lalu, ada kontrak untuk menyelesaikan pengiriman 20 MiG-29 ke Myanmar, 45 MiG-29 K-UB untuk program kapal induk India, ditambah order untuk mengirimkan 62 MiG-29 untuk Angkatan Udara India dan pesanan 24 MiG-29M/M2 untuk Angkatan Udara Suriah. Pesanan lain juga ada untuk MiG. Walaupun begitu, portofolionya masih rendah, MiG masih jauh di belakang saingan dalam negeri utamanya yaitu Sukhoi.

Selain itu, persaingan di pasar ekspor saat ini sudah sangat tinggi. Krisis ekonomi bahkan mendorong negara-negara yang merupakan bagian dari Pakta Warsawa, atau memiliki perjanjian kerjasama militer dengan Uni Soviet, untuk menjual stok alutsista dan pesawat militer mereka, termasuk pesawat MiG-29 yang mereka gunakan. Hongaria baru-baru ini juga mengumumkan batch terakhir penjualannya.

Harapan tinggi pun diemban oleh pesawat tempur MiG model baru yaitu MiG-35 -representasi dari pesawat tempur generasi 4++-, namun pesawat ini juga belum memiliki keberuntungan di pasar internasional karena beberapa alasan. Ketika memulai debutnya pada tahun 2007, MiG-35 sebenarnya telah menarik perhatian luas dunia internasional di pameran-pameran udara. Namun, hingga kini pihak Mikoyan sendiri belum menerima satu pun kontrak penjualannya. Pukulan telak pun diberikan oleh program modernisasi MMRCA (Medium Multi-Role Combat Aircraft) India. Pesawat tempur Rusia pun bahkan tidak masuk ke short list, kalah oleh Dassault Rafale dari Prancis dan Eurofighter Typhoon dari Inggris dkk.

Para analis dan media mengemukakan berbagai alasan kekalahan Rusia atas tender MMRCA India ini. Jika kita hanya berbicara tentang sisi teknis masalah ini, mayoritas akan cenderung berpikir bahwa militer India menolak pesawat tempur Rusia karena mesin RD-33MK, yang notabene adalah mesin versi upgrade dari RD-33 buatan tahun 1972. Selain itu, ada laporan yang menyebutkan bahwa India tidak menyukai sistem radar Zhuk-AE, padahal sistem radar ini menjadi senjata promosi dari MiG-35. Menurut desainer Rusia, sistem radar Zhuk-AE ini akan menjamin kemenangan dalam pertempuran udara terhadap pesawat generasi 4+. Selain itu, sistem radar MiG-35 juga diklaim sebanding dengan yang digunakan pesawat generasi ke-5.

Jika kita berbicara mengenai alasan lain selain kinerja teknis pesawat, maka tampak bahwa ada yang tidak biasa dalam motif para penyelenggara tender. MiG-35 memiliki biaya jauh lebih murah dari para pesaingnya Dassault Rafale dan Eurofighter Typhoon (USD 10,5 miliar untuk 126 pesawat ditambah transfer teknologi dan lisensi). Selain itu Angkatan Udara dan Angkatan Laut India telah memiliki sekitar seratus MiG-29 dengan berbagai modifikasi. Oleh karena itu, membeli pesawat tempur sejenis MiG-29 seharusnya akan menjanjikan penghematan biaya.
MiG-35
MiG-35 (Foto via worldsairforce.webs.com)

Menjelaskan tentang perubahan "kiblat" India ini, para ahli MMRCA cenderung menyinggung keinginan India adalah untuk diversifikasi program kerja sama militer. Singkatnya, India ingin membatasi ketergantungan onderdil pesawat dari produsen Rusia, dengan mempertimbangkan kontrak yang sudah ada yaitu pembelian 230 pesawat tempur Su-30MKI dan program pengembangan bersama pesawat tempur generasi kelima T-50/proyek PAK-FA.

Kegagalan Rusia dalam tender India ini jelas memiliki dampak yang sangat negatif pada prospek MiG-35. Tahun ini, Kementerian Pertahanan Rusia memang memutuskan untuk membeli 24 MiG-35. Tapi apakah itu hanya untuk "melestarikan" alutsista unik atau hanya sebuah percobaan sebelum akhirnya menggantikan 200 MiG-29 yang tersisa di Angakatan Udara Rusia dengan pesawat yang lebih baik? Waktu yang akan menjelaskannya.

Adapun masalah lain yang dihadapi Biro Desain Mikoyan, adalah perusahaan ini sejak bertahun-tahun terkait dengan pengembangan khusus dari komplek industri militer Rusia sejak masa Uni Soviet. MiG dan Sukhoi bekerja secara paralel untuk mengembangkan pesawat tempur ringan dan berat, dan memang hal itu juga dilakukan oleh Amerika Serikat.

Perbedaannya dengan Amerika Serikat, ketika pesawat harus melewati produsen komersial ke layanan, diperlukan penyatuan maksimum pada komponen utama, sedangkan MiG dan Sukhoi tidak. Hasilnya sebuah pesawat dual control lahir seperti F-15 oleh Boeing dan F-16 oleh Lockheed Martin, keduanya memiliki mesin yang sama yaitu Pratt & Whitney F-100. Angkatan Udara AS tidak hanya berhasil menghemat biaya transisi pesawat-pesawat generasi keempat itu, tetapi juga penghematan pada biaya pemeliharaan dan upgrade di masa depan nantinya.

Di Uni Soviet, situasinya agak berbeda. MiG dan Sukhoi dikembangkan dengan lembaga penelitiannya masing-masing, mengandalkan basis produksi masing-masing dan saling terlibat dalam kompetisi untuk mengeksploitasi sumberdaya ekonomi terencana. Kabar baiknya, Pemerintah Rusia berencana untuk menggabungkan perusahaan-perusahaan penerbangan Rusia seperti Mikoyan, Ilyushin, Irkut, Sukhoi, Tupolev, dan Yakovlev sebagai satu perusahaan baru yang bernama United Aircraft Corporation.

Manajemen industri pertahanan Rusia masih berpikir dengan ide "Great Patritic War," yakin bahwa masalah seperti itu cukup muda untuk diterima. Rantai produksi paralel dipandang sebagai cadangan mobilisasi yang secara dramatis akan meningkatkan produksi persenjataan militer dalam kasus perang skala besar. Namun penyatuan di masa depan antara Su-27 dan MiG-29 dalam keadaan seperti ini keluar dari pertanyaan. Uni Soviet mampu mempertahankan dua sistem independen pesawat tempur, tetapi Federasi Rusia tidak bisa.

Sesuatu yang seperti itu juga terjadi di Barat. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan penurunan tajam dalam belanja militer, perangkat keras militer generasi baru harganya melonjak berkali lipat dari sebelumnya. Jumlah produsen independen pesawat juga semakin berkurang, sedangkan sebagian produsen bergabung menjadi satu agar tetap bertahan hidup. Sebuah pesawat biasanya ada jika bisa diekspor. Semua industri pesawat harus belajar hidup sendiri, tidak bergantung kepada dukungan pemerintah.

Sukhoi memasuki periode baru dengan platform T-10 (nenek moyang flanker Su-27 dll) yang bisa dimodernisasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan pelanggan. Hasilnya pesawat generasi 4+ hasil klon dari Su-27 dan Su-30 laris manis di pasar internasional, sementara MiG "termenung" tanpa kontrak internasional yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Sukhoi akhirnya menjadi raja di pasar internasional dengan tidak ada pemain Rusia lain di dekatnya.
Su-30MKI
Sukhoi Su-30MKI India saat Aero India 2009 (Foto :vishak / Wiki)

Model ekspor dari Mikoyan, Universal Light Fighter MiG-29 CMT, juga tidak memberikan harapan. Pesawat ini dinilai terlalu berat untuk kelasnya, MiG-29 CMT telah kehilangan karakteristik penerbangan relatif terhadap model aslinya MiG-29. Amunisinya juga terbatas dan harganya hampir sama dengan Sukhoi yang merupakan fighter kelas berat.

Mikoyan kemudian menggunakan seluruh sumberdayanya untuk memodernisasi mesin RD-33. Insinyur MiG kemudian menciptakan mesin RD-33MK, yang dipasang pada MiG-35, dengan kendali vektor dorong dan afterburner yang ditingkatkan. Namun, kepercayaan dari pelanggan potensial untuk mesin upgrade ini tidak ikut meningkat.

Dan lagi, model MiG ekspor memiliki pesaing yang kuat di pasar negara-negara dunia ketiga, khususnya menghadapi China dengan J-10 an JF-17 nya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, mereka memiliki keuntungan besar dan tidak terbantahkan di mata pembeli - harga ekspor pesawat China berkisar 10 juta dolar lebih murah dari pesawat Mikoyan Rusia.

Naasnya lagi, pelanggan potensial untuk pesawat tempur MiG hilang diantara brosur-brosur tentang pesawat tempur generasi 4+ lainnya dan ke-5. Bisa saja diantara negara-negara itu tidak mengerti apa yang mereka beli itu. Namun, fakta terjelasnya adalah bahwa memiliki pesawat generasi 4+ atau 5 dalam angkatan udaranya pasti akan memberikan kebanggaan, meskipun mahal dan secara teknis sulit.

Butuhkah Dengan Pesawat Tempur Generasi 4++ atau 5 ? 

Jika ada pertanyaan tentang penerapan pesawat-pesawat tersebut ke dalam layanan, kemampuan teknis dan biaya peralatan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan tugas militer tertentu tertutupi oleh definisi musuh potensial. Tren global yang terjadi saat ini.

Berdasarkan logika sederhana ini, pesawat generasi ke-5 dan semua generasi 4++ akan "kalah" dengan pesawat yang lebih mudah dan sederhana (kalah karena beberapa alasan tertentu), terutama di pasar negara dunia ketiga. Kompleksitas teknis dan fleksibilitas dari pesawat memang akan memberikan keunggulan strategis, tapi itu hanya terjadi jika jumlah pesawatnya mencukupi. Nah, untuk negara-negara tertentu, ini akan sulit dicapai karena tingginya harga pesawat-pesawat semacam ini. Ketika harus membeli pesawat canggih namun dengan harga selangit, angkatan udara dari negara yang memiliki kantong pas-pasan akan memiliki resiko "tidak ada dukungan udara dan pilot menjadi tidak terlatih."

Amerika Serikat menolak untuk menggunakan F-22 Raptor dalam konflik Libya karena pesawat ini memang bukan dirancang untuk menyerang target darat, ini juga yang memaksa orang untuk berpikir kembali (walaupun F-22 memang tidak dijual).

Asumsi di atas sebagian juga didukung oleh perilaku pelanggan potensial di akhir pameran udara Le Bourget Prancis 17-13 Juni lalu. Pelanggan kebanyakan hanya tertarik pada helikopter serang, UAV nEUROn dan P.1 HH Hammerhead, pesawat latih tempur yang murah dan mudah, atau pesawat-pesawat tempur ringan seperti Archangel Amerika atau Super Tucano EM 314B dari Embraer Brasil.

Di sisi lain, China juga mengumumkan rampungnya pengembangan pesawat latih tempur ringan JL-10, yang menjadi pesawat termurah di kelasnya -10 juta dolar ketimbang Yak-130 Rusia yang 15 juta dolar. Kemungkinan besar, ini adalah jenis pesawat yang akan menentukan wajah pasar penerbangan internasional dalam beberapa dekade mendatang. Negara-negara non-industri di Asia, Afrika dan Amerika Latin, serta perusahaan militer swasta, dijamin akan tertarik pada pesawat latih tempur China itu.

Krisis ini juga dilatarbelakangi karena meningkatnya harga satuan dan tingginya persyaratan untuk pelatihan pilot. Mengakibatkan jumlah negara yang mampu memiliki pesawat modern pasti akan menurun. Akibatnya, produsen penerbangan harus memilih antara pasar internal mereka yang sedikit atau lingkaran pelanggan potensial yang sanggup untuk mengakuisisi dan mengupgrade armada generasi 4++ dan 5 mereka.


Sumber: Artiliri